Jakarta – Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara bertetangga yang memiliki ikatan serumpun Melayu. Sekitar delapan dekade lalu, pernah muncul wacana besar untuk menyatukan kedua bangsa ini dalam satu pemerintahan bernama Negara Indonesia Raya.
Namun, cita-cita tersebut akhirnya tak terwujud, meskipun saat itu masyarakat di Malaya sempat mengibarkan bendera Merah Putih.
Kisah itu bermula pada 12 Agustus 1945, ketika tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat – dipanggil ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Terauchi, panglima Jepang di Asia Tenggara. Dalam pertemuan itu, Terauchi menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Dalam perjalanan pulang, rombongan Soekarno singgah di Singapura, lalu menuju Taiping, Perak, untuk bertemu pemimpin nasionalis Melayu, Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy. Keduanya merupakan tokoh Kesatuan Melayu Muda (KMM) dan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS), organisasi yang berjuang melawan kolonial Inggris.
Pertemuan tersebut melahirkan gagasan Negara Indonesia Raya yang mencakup Indonesia, Malaya, Singapura, Brunei, hingga Kalimantan Utara. Menurut riset Graham Brown (2005), ide ini merupakan hasil kolaborasi tokoh lokal dengan Jepang.
Dalam kesempatan itu, Soekarno menyerukan: “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia.” Ibrahim Yaacob pun menegaskan dukungannya: “Kami orang Melayu akan setia menyatukan Malaya dengan Indonesia merdeka.”
Meski demikian, gagasan persatuan tersebut tidak sepenuhnya diterima. Sejarawan Boon Kheng Cheah dalam karyanya Red Star Over Malaya (1983) menyebutkan bahwa Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh lain kemungkinan menolak ide tersebut.
Tak lama kemudian, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Situasi genting itu mendorong golongan muda di Jakarta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah peristiwa Rengasdengklok, Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, lebih cepat dari jadwal Jepang.
Sejak saat itu, rencana Negara Indonesia Raya pun gugur. Ibrahim Yaacob mengubah arah perjuangannya, sementara Malaya baru memperoleh kemerdekaan 12 tahun kemudian, tepatnya pada 31 Agustus 1957
0 Komentar