BRICS awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Dalam perluasan terbaru, enam negara resmi bergabung, yakni Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, Indonesia, dan Arab Saudi. Aliansi ini juga memiliki 13 negara mitra strategis, termasuk Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Uganda, dan Uzbekistan.
Saat ini BRICS menyumbang lebih dari 25 persen produk domestik bruto (PDB) global dan mewakili hampir setengah populasi dunia, menjadikannya kekuatan penting dalam perekonomian dan perdagangan internasional.
Menurut Watcher Guru, dari 32 negara yang berminat, 23 telah mengajukan permohonan resmi, di antaranya Bahrain, Malaysia, Turki, Vietnam, Belarus, Sri Lanka, Meksiko, Kuwait, Thailand, dan Uzbekistan. Negara-negara tersebut tertarik memanfaatkan pembiayaan alternatif dari Bank Pembangunan Baru (NDB) dan mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat.
Masuknya negara produsen minyak seperti Bahrain dan Kuwait dinilai dapat memperkuat sektor energi BRICS, sementara Meksiko berpotensi membuka akses pasar Amerika Latin dan Belarus memberikan jalur strategis di Eropa Timur.
Namun, proses ekspansi ini menghadapi tantangan internal. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio 2025, para pemimpin BRICS membahas kriteria keanggotaan baru. Tiongkok dan Rusia mendorong perluasan cepat, sementara Brasil dan India memilih langkah lebih hati-hati. Tekanan eksternal juga datang dari Barat, termasuk pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut “BRICS sudah mati” dan ancaman kenaikan tarif bagi anggota BRICS yang menggerus dominasi dolar AS.
Meski begitu, BRICS tetap menarik minat negara lain. NDB tercatat telah menyalurkan lebih dari USD32 miliar untuk 96 proyek sejak 2016, dengan skema pinjaman infrastruktur berbasis mata uang lokal guna mengurangi risiko dari fluktuasi dolar AS.
0 Komentar