Oleh :Fendy elza
Di tengah derasnya arus media sosial, batas antara ruang privat dan ruang publik kian kabur. Hal-hal yang seharusnya menjadi ekspresi pribadi, kini justru diumbar demi perhatian. Salah satunya, pemandangan ciuman yang tanpa malu dipamerkan di depan jutaan pasang mata.
Alih-alih menjadi simbol kasih sayang yang sakral, ciuman berubah menjadi tontonan gratis yang rawan disalahartikan, apalagi oleh generasi muda yang masih rapuh dalam menyaring nilai. Mirisnya, momen yang semestinya dijaga dalam lingkaran pribadi justru dipertontonkan layaknya konten hiburan.
Di balik layar ponsel, banyak yang mungkin menonton sambil tersenyum, ada pula yang sekadar lewat tanpa peduli. Namun, tak sedikit pula yang merasakan getir. betapa murahnya rasa malu di era digital ini. Norma sosial perlahan luntur, digantikan oleh budaya pamer demi validasi semu berupa like dan komentar.
Pada akhirnya, yang tersisa bukan lagi makna kasih, melainkan tanda tanya. sampai di mana batas etika dan rasa hormat kita pada ruang publik?
Fenomena ini mencerminkan pergeseran budaya. Dari menjaga privasi menjadi memburu sensasi. Dari menghargai norma menjadi meremehkan nilai. Padahal, media sosial sejatinya adalah ruang bersama yang seharusnya dihiasi hal-hal inspiratif, bukan sekadar ajang pamer keintiman yang berpotensi merusak tatanan moral.
Kita tentu tidak bisa melarang sepenuhnya perilaku pribadi seseorang. Namun, yang patut direnungkan adalah kesadaran etika dalam menggunakan media sosial. Tidak semua hal pantas dipublikasikan, apalagi yang menyangkut ranah privat. Sebab ketika rasa malu sudah dianggap kuno, maka yang hilang bukan hanya norma, tapi juga martabat kita sebagai manusia yang berbudaya.
0 Komentar